Diberdayakan oleh Blogger.

Perjanjian Kerja dan Pengangkutan

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kita nikmatnya sehingga kita biasa menghirup udara segar sampai saat ini dan seterusnya.selawat serta salam kita curahkan kepda nabi besar kita Muhammad SAW yang telah membawa islam dari keterpurukan menuju kemuliaan sebagaimana yang kita rasakan sekarang ini sampai akhir hayat kita, amien... Sehingga makalah ini biasa dirilis dengan baik walaupun belum begitu sempurna.
Kami sebagai manusia tidak luput dari khilaf dan dosa, oleh karena itu penulis mengharapkan masukan yang bermanfaat dan bersifat membangun demi kelangsungan proses belajar mengajar dengan baik. Sehingga kami bisa menjadi mahasiswa yang mempunyai kreatifitas yang tinggi dalam menjalankan segala ativitas.



PERJANJIAN KERJA DAN PENGANGKUTAN
Perjanjian Kerja dan Pengangkutan
 
           Perjanjian kerja  ini sering juga di istilahkan dengan perjanjian untuk melakukan pekerjaan  dan lazim juga di sebut dengan perjanjian perburuhan . secara umum perjanjian kerja adalah perjanjian  yang di lakukan oleh dua orang  atau lebih yang mana satu pihak berjanji untuk memberikan pekerjaan dan pihak yang lain berjanji untuk melakukan pekerjaan tersebut, sedangkan perjanjian kerja menurut bahasa belanda adalah disebut dengan Arbeidsovereenkoms, dapat di artikan dalam beberapa pengertian. Pengertian yang pertama disebutkan dalam  ketentuan pasal 160la KUHPerdata, mengenai perjanjian kerja disebutkan bahwa.

perjanjian kerja adalah suatu perjajian dimana pihak yang satu si buruh, mengikatkan dirinya untuk dibawah perintahnya pihak yang lain, si majikan intuk suatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah”

          Sedangkan perjanjian kerja menurut  Bapak prof R. Imam seopomo, S.H. yang menjelaskan bahwa perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak yang kesatu,buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya, majikan yang mengikatkan diri untuk mengerjakan buruh itu dengan membayar upah.

Secara umum yang dimaksud dengan perjanjian kerja adalah perjanjian yang diadkan oleh dua orang atau lebih, yang mana satu pihak berjanji untuk memberikan pekerajaan dan pihak yang lain berjanji untuk melakukan pekerjaan tersebut.

Dalam peraktek, dan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang, bahwa perjanjian untuk melakukan pekerjaan tersebut dapat di klasifikasikan sebagai berikut.
a.    Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu
b.    Perjanjian kerja /perburuhan
c.    Perjanjian pemborongan pekerjaan .

Dalam perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu salah satu pihak menghendaki agar dari pihak yang lainya agar melakukan suatu pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan tertent, dan pihak yang menghendaki tersebut bersedia untuk memberikan upah, biasanya pihak yang melakukan suatu pekerjaan tersebut adalah  orang yang ahli seperti notaris atau pengacara, dokter dan lain-lain sebagainya, dan lazimnya pihak yang melakukan pekerjaan ini sudah menentukan tariff untuk seuatu pekerjaan yang akan dilakukan tersebut.

Sedangkan dalam hal perjanjian kerja/perburuhan  sedangkan adalah merupakan perjanjian yang diadakan antra pihak pekerja ( buruh) dengan pihak yang memberikan pekerjanan atau majikan, dan lajimnya pihak pekerja memberiakan perintah dan yang melakukan pekerjaan harus menaati perintah tersebut.
Sedangkan menyangkut perjanjian pemboronagan pekerjaan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh pihak pemborong dengan pihak yangm memberikan pekerjaan borongan. Bagaimana caranya pihak pemborong bekerja untuk melakukan pekerjaan tersebut  tidaklah penting bagi pihak yang memborongkan, yang penting hasil pekerjaan yang diserahkan kepadanya dalam keadaan baik .Lajinmnya perjanian pemborongan ini selalu dikaitakan dengan jangaka waktu.

Perjanian kerja ini dalam syariaat islam digolongkan kepada perjanjian sewa menyewa ( Al-ijarah) yaitu “ijarah a’yan “ yaitu sewa menyewa tenaga manusia utnuk melakukan pekerjaan .
Dalam istialah hokum islam pihak yang mekukan pekerjaan tersebut dengan “ajir “, (ajir ini terdiri dari ajir khas yaitu seoranga atau beberapa orang yang bekerja pada seseorang tertentu dan ajir musyatarak yaitu orang yang bekerja utnuk kepentingan orang banyak ). Sedangkan orang yang memperoleh manfaat dari pekerjaan ajir disebut dengan Musta’jir

DASAR HUKUMNYA
dasar hukum
Adapun dasar hukum tentang perjanjian kerja ini dapat dilihat dalam teks Al-quran maupun sunah , dalam Al-Qurrran surat  Al-Qasas ayat 534 yang artinya berbunyi.
“berkatalah salah seorang dari(kedua gadis itu)” hai ayah ku terimalah dia sebagai pekerja upahan . sebaiknya yang diterima bekerja adalah orang yang kuat, dan yang biasa dipercaya”
Dalam ayat yang lain yaitu dalam surat Az-Zukhruf  ayat  32 yang artinya sebagai berikut:
“apkah mereka hendak membagi-bagikan rahmat tuhanmu?, kamilah yang membagi-bagikan antara mereka penghidupan di dunia. Dan kami angkat derajat sebagai mereka di atas yasng lain, supaya sebagaian mereka  dapat menggunakan yang lain bekerja untuknya (HB. Jassin, 1991:685),
Sedangkan dalam ketentuan Sunnah Rusulullah dapat diketemukan dalam hadis-hadisnya antara lain (sayid sabiq, 13, 1988: 17). Hadis yang diriwayatkan Al-Bukhari, bahwa nabi SAW. Pernah menyewa seorang dari bani Ad Diil bernama Abdullah bin Al-Uraiqit. Orang itu penunjuk jalan yang professional.

Hadis yang lain diriwayatkan oleh ibnu majah, bahwa Nabi SAW bersabda: “berilah olehmu upah orang sewaan (pekerja)  sebelum kering keringatnya.
SYARAT SAHNYA

Adapun yang menjadi syarat sahnya perjanjian kerja ini adalah sebagai berikut:
1.    Pekerjaan yang diperjanjikan termasuk jenis pekerjaan yang mubah atau halalmenurut ketenyuan syara’, berguna bagi perorangan atau masyrakat. Pekerja-pekerja yang haram menurut ketentuan syara’ tidak dapat menjadi obyek perjanjian kerja.
2.    Manfaat kerja yang diperjanjikan dapat diketahui dengan jelas. Kejelasan manfaat pekerjaan ini dapat diketahui dengan cara mengadakan pembatasan waktu atau jenis pekerjaan yang harus dilakukan.
3.    Upah sebagai imbalan pekerjaan harus diketahui dengan jelas. Termasuk jumelahnya, ujudnya dan juga waktu pembayarannya. Sedangkan syrat-syarat mengenai subiyek yang melakukan perjanjian kerja, sama dengan subyek pada umumnya.

KEWAJIBAN DAN HAK-HAK PEKERJA
kewajiban pekerja
            Dengan telah terpenuhinya syarat perjanjian kerja sebagai mana di utarakan di atas, maka terjadilah hubungan hokum diantara para pihak yang melakukan perjanjian tersebut.
            Dengan timbulnya hubungan hokum diantara mereka, maka dengan sendirinya akan melahirkan hak dan kewajiban diantara para pihak tersebut.

Adapun yang menjadi kewajiban pekerja dengan adanya  hubungan hukum persebut adalah
1.    Mengerjakan sendiri pekerjaan yang diperjanjikan, kalau pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang khas.
2.    Benar-benar pekerja sesuai dengan waktu perjanjian
3.    Mengerjakan pekerjaan dengan tekun, cermat dan teliti
4.    Menjaga keselamatan barang yang dipercayakan kepadanya untuk dikerjakannya, sedangkan kalau pekerjaan itu berupa urusan, mengurus urusan tersebut sebagai mana mestinya.
5.    Mengganti kerugian kalau ada barang yang rusak. Dalam halai apabila kerusakan dialakukan dengan unsure kesengajaan atau kelengahannya.

Sedangkan yang menjadi hak-hak pekerja yang wajib di penuhi oleh pemberipekerjaan adalah
1.    Hak untuk memperoleh pekerjaan
2.    Hak atas upah sesuai dengan yang telah diperjanjikan
3.    Hak untuk diperlakuakan secara baik dalam lingkungan pekerjaan
4.    Haka atas jaminan sosial.

PENENTUAN UPAH KERJA

    Masalah yang sering muncul kepermukaan dewasa ini dalam dunia ketenagakerjaan adalah masalah yang menyangkut dengan pemenuhan hak-hak pekerja, terutama sekali hak untuk diperlakukan secara baik dalam lingkungan pekerjaan,haka atas jaminan sosial dan hak atas upah yang layak .Persoalan ini timbul tentunya didak terlepasdari sikap para pengusaha (pemberi pekerjaan) yang terkadang berperilaku tidak manusiawi terhadap para pekerjanya.

    Menyangkut penentuan upah kerja menurut syariat isalam tidak memberikan yang secara rinci secara tekstual, baik dalam ketentuan Al-quran maupun Sunnah Rasul. Secara umum dalam ketentuan Al-quran yang ada keterkaitan dengan upah kerja ini dapat di jumpai dalam surat an-Nahl ayat 90 yang artinya berbunyi sebagai berikut:
“Allah memerintahkan berbuat adil, melakukan kebaikan dan dermawan terhadap kerabat. Dan dia melarang perbuatan keji, kemungkaran dan penindasan. Ia mengatkan kamu supaya mengambil pelajaran"
    Apabila ayat ini dikaitkan dengan perjanjian kerja, maka dapat dikemukakan bahwa Allah SWT memerintahkan kepada para pemberi pekerjaan (majikan) untuk berlaku adil, berbuat baik dan dermawan kepada para pekerjanya. Kata “kerabat” dalam ayat ini, menurut penuli dap[at diartikan dengan “tenaga kerja” sebab para pekerja tersebut bagian dari perusahaan, dan kalaulah bukan jerih paya pekerja tidak mungkin usaha si majikan dapat berhasil. Disebabkan si pekerja mempunyai andil yang besar untuk kesuksesan usaha si majikan, maka berkewajiaban si majikan untuk mensejahterakan para pekerja, termasuk dalam hal memberikan upah yang layak. Selain dari ayat tersebut dapat di tarik pengertian bahwa pemberi kerja dilarang oleh Allah SWT untuk berbuat keji dan melakukan penindasan dan si majikan juga harus ingat doa orang yang tertindas sangat mudah dikabulkan oleh Allah SWT. Di samping itu Rasulullah SAW juga memberikan ancaman, yang mana beliau mengemukakan bahwa ada tiaga orang yang akan di gugatnya di hari kiamat kelak, salah satu diantaranya adalah majikan yang tidak memberikan hak sebagaimana layaknya, padahal si pekerja telah memenuhi keewajiaban sebagaimana mestinya.

UPAH MINIMUM TENAGA KERJA
    Apabila diperhatikan kecendrungan yang terjadi dewasa ini, bahwa para pemberi pekerjaan /pengusaha/majikan sudah jarang sekali memperhatikan kebutuhan para pekerjanya, dan lazimnya mereka selalu berhasrat untuk memperkaya diri sendiri atas kesengsaraan orang lain (pekerjanya)
    Maka untuk menghindari kewenangan dan penindasan dan dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyrakat, pihak Negara (dalam hal ini dilksanaka oleh pemerintah) harus memberikan perhatian terhadap upah minimum yang harus dibayar kan oleh pemberi kerja kepada pekerjanya. Sebab kesejahteraan  masyarakat sangat menentukan terhadap stabilitas sosial suatu Negara .
    Untuk hal ini perlu campur tangan pemerintah untuk mengatur ketentuan upah minimum tenaga kerja, dasar campur tangan pemerintah terhadap ketentuan upah minimum tenaga kerja ini menurut pandangan syariat islam didasarkan kepada azas “maslah ah murshalah”

2.    PERJANJIAN PENGANKUTAN

        Adapun yang dimaksud dengan suatu perjanjian dimana suatu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau baarang dari satu tempat ketempat ketempat yang laian.
        Dari definisi yang dikemukan diatas terlihat bahwa perjanjian pengangkutan ini adalah perjanjan yang terdiri dari dua segi, yaitu adanya pihak yang bersedia untuk mengangkut dan adanya pihak yang di angkut atau menyuruh untuk di angkut dari satu tempat ketempat yang lain.
        Menurut ketentuan perundang undangan bahwa seorang pengangkut hanya bertanggung jawab untuk melaksanakan pengangkutan saja, namun lazimnya pada peraktek dewasa ini bahwa pengankutlah yang menyediakan alat angkutan tersebut.

        Adapun contoh pengangkutan tidak mesti menyediakan alat angkutan, misalnya si A sebagaim seorang sopir, tetapi dia tidak memiliki mobil untuk mengangkut, kemudian B memiliki mobil tapi tidak punya kesanggupan untuk mengangkut, maka B menyuruh si A untuk mengangkutnya dengan mobil tersebut lantas si A bersedia untuk mengangkut, maka dalam hal yang sedemikian dapat dikatagorikan sebagai perjanjian pengangkutan.

        Sedangkan yang lazim dewasa ini pihak pengangkutlah yang menyediakan sarana angkutan yang dipergunakan untuk pengangkutan tersebut,misalnya si X bersedia mengangkut si A dari suatu tempat ketempat yang lain, lantas si A menyediakan alat angkutnya

        DASAR HUKUMNYA

    Adapun dasar hukumnya yang dapat dijadikan sebagai landasan perjanjian pengangkutan ini adalah ketentuan yang dapat dalah surat Al- baqarah  ayat164 yang artinya sebagai berikut
“sesunguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dengan siang,bahtera yang belayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia “
Ayat lain yan yang dapat dijadikan sandaran tentang pengankutan ini adalah QS.Al-mukmin ayat 79 dan 80  yang artinya
“Allah yang menjadikan binatang ternak untuk kamu, sebagiannya untuk kamu kendarai dan sebagiannya untuk kamu makan” . Ayat  80 , Dan (ada lagi ) manfaat pada binatang ternak itu untuk kamu dan supaya kamu mencapai maksud yang tersimpan dalam hatimu dengan mengendarainya. Dan kamu dapat di angkat dengan mengendarai binatang-binatang dengan mengendarai bahtera .
Dalam sunnah Rasulullah SAW ketentuan diperbolehkannya perjanjian pengangkutan yang diadakan oleh para pihak didasarkan kepda hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, buchari dan ibnu majah yang artinya sebgai berikut:

“Darai Aisyah r.a tentang hadis hijrah – ia berkata : Nabi SAW bersama abu bakar mengupah seorang laki-laki bani diel sebagai penunjuk jalan yang mahir, sedangkan si laki-laki tersebut ketika itu masih berda dalam kelompok orang-orang kafir quraisy. Nabi dan abu bakar mengamanatkan kepada laki-laki tersebut, lalu menyerahkan kedua kendaraan mereka kepadanya, dan mereka menjajikan untuk bertemu di gua tsur. Sesudah tiga malam si laki-laki itu datang kepada mereka dengan membawa kedua kendaraan itu, lalu mereka pergi menuju madinah ”

Dari ketentuan hadis tersebut terlihat bahwa perjanjian pengangkutan ini dapat dikatagorikan sebagai perjanjian kerja dengan memberikan kontraprestasi yang berbentuk upah dan jasa.sebagaimana   lazim dalam perjanjian yang bersegi dua maka dalam perjanjian pengangkutan ini kepda para pihak diberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk mengatur sendiri tentang segala hal yang menyangkut pengangkutan tersebut.

JENIS-JENIS PERJANJIAN PENGANGKUTAN

Secara garis besar jenis-jenis perjanjian pengangkutan yang ada pada saat sekarang ini dapat di kelompokakn sebagai berikut.
1.    Perjanjian pengangkutan di darat
2.    Perjanjian pengangkutan di laut
3.    Perjanjian pengangkutan di udara
Sebagai mana di ungkapkan diatas, bahwa pada dasarnya kepada masing-masing pihak (pengangkut dan yang di angkut) diberikan kebebasan untuk mengatur sendiri tentangsegala hal yang menyangkut pengangkutan tersebut. Namun dikarenakan perjanjian pengangkutan ini merupakan hal yang menyangkut kepentingan umum,(publik) maka peran public pun diperlukan untuk mengaturnya.
Untuk melaksanakan peran public ini telah dikeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan menyangkut masing-masing pengangkutan tersebut di atas, terutama sekali mengenai tanggung jawab pengangkut dan kerugian-kerugian yang timbul dari pengangkutan tersebut.

PERTANGGUNG JAWABAN PENGANGKUTAN

    Berbicara masalah pertanggungjawaban pengangkutan menurut ketentuan hokum islam, maka secara tekstual tidak ada dijumpai ketentuan yang mengaturnya baik didalam ketentuan Al-quran dan al-hadis
    Oleh karena itu menurut hemat penulis tidaklah salah, bahkan bahkan sebaliknya dituntut kepada para penyelenggara umum untuk membuat aturan tentang itu, karena para penyelenggara kepentingan umum mempunyai fungsi dan tugas untuk mengemban amanah dari Allah SWT untuk menyelenggrakan kesejahteraan dan kadilan bagi segenap rakyatnya, dan ini sesuai dengan hokum islam yang mengutamakan kemaslahatan umum. Oleh karena itu peraturan perundang-undangan yang ada yang mengatur tentang pertanggungjawaban dalam perjanjian pengangkutan ini adalah sesuai dengan kehendak huku islam.

    Pertanggungjawaban pengangkutan yang dibicarakan dalm pembahasan ini, hanya khusus membicarakan  pertanggungjaban pengangkutan angkutan umum. Didalam ketentuan undang-undang nomor 14 tahun 1992 tentang lalu lintas dan angkutan jalan khususnya bagaian ke enam tentang tanggung jawab penganhkutan dikemukakan
1.    Pengusaha angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang pengiriman barang atau pihak ketiga, karena kelalaiannya dalam melaksanakan pengangkutan
2.    Besar ganti rugi atas kerugian tersebut adalah sebesar kerugian yang nyata diderita oleh penumpang, pengirim barang atau pihak ketiga.
3.    Tanggung jawab pengangkut sebagaimana yang di ungkapkan dalam poin ke 1 di mulai saat diangkutnya, sampai ketempat tujuan yang telah di sepakati bersama
4.    Sedangkan tanggung jawab pengangkutan barang, dimulai pada saat diterimanya barang sampai diserahkannya barang kepda pengirim dan / penerima barang.

    Selain apa yang dimemukakan di atas dalam undang-undang ini juga diatur bahwa pihak pengusaha angkutan diwajibkan untuk mengasuransukan tanggung jawabnya tersebut diatas Undang-undang ini juga menetukan, bahwa apabial pihak pengirim / penerima barang tadak mengambil barangnya di tempat tujuan pada waktu dan tempat yang telah ditentukan, maka pihak pengusaha angkutan dapat mengenakan tambahan biaya penyimpanan barang kepda pemilik barabng.

KESIMPULAN

1.    PERJANJIAN KERJA

perjanjian kerja adalah suatu perjajian dimana pihak yang satu si buruh, mengikatkan dirinya untuk dibawah perintahnya pihak yang lain, si majikan intuk suatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah”
Sedangkan perjanjian kerja menurut  Bapak prof R. Imam seopomo, S.H. yang menjelaskan bahwa perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak yang kesatu,buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya, majikan yang mengikatkan diri untuk mengerjakan buruh itu dengan membayar upah.
Secara umum yang dimaksud dengan perjanjian kerja adalah perjanjian yang diadkan oleh dua orang atau lebih, yang mana satu pihak berjanji untuk memberikan pekerajaan dan pihak yang lain berjanji untuk melakukan pekerjaan tersebut.

2.    PERJANJIAN PENGANKUTAN

        Dari definisi yang dikemukan diatas terlihat bahwa perjanjian pengangkutan ini adalah perjanjan yang terdiri dari dua segi, yaitu adanya pihak yang bersedia untuk mengangkut dan adanya pihak yang di angkut atau menyuruh untuk di angkut dari satu tempat ketempat yang lain.Menurut ketentuan perundang undangan bahwa seorang pengangkut hanya bertanggung jawab untuk melaksanakan pengangkutan saja, namun lazimnya pada peraktek dewasa ini bahwa pengankutlah yang menyediakan alat angkutan tersebut.
        Adapun contoh pengangkutan tidak mesti menyediakan alat angkutan, misalnya si A sebagaim seorang sopir, tetapi dia tidak memiliki mobil untuk mengangkut, kemudian B memiliki mobil tapi tidak punya kesanggupan untuk mengangkut, maka B menyuruh si A untuk mengangkutnya dengan mobil tersebut lantas si A bersedia untuk mengangkut, maka dalam hal yang sedemikian dapat dikatagorikan sebagai perjanjian pengangkutan.
        Sedangkan yang lazim dewasa ini pihak pengangkutlah yang menyediakan sarana angkutan yang dipergunakan untuk pengangkutan tersebut,misalnya si X bersedia mengangkut si A dari suatu tempat ketempat yang lain, lantas si A  menyediakan alat angkutn










DAFTAR PUSTAKA

Chairuman DKK.2004.Hokum Perjanjian Dalam Islam. Penerbit Sinar Grapika Jakrta


Djumadi Ed.Hukum Perbuiruhan, Perjanjian Kerja:Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

0 komentar:

Posting Komentar